Secara umum,
moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal
keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan
orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan
dengan institusi negara.
Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan
makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil),
dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip
wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula,
kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”.
Prinsip Dasar Moderasi
Inti dari moderasi beragama adalah adil dan
berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam
KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/
tidak sewenang-wenang.
Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah
untuk menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen
untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan
persamaan. Kecenderungan untuk bersikap seimbang bukan
berarti tidak punya pendapat. Mereka yang punya sikap
seimbang berarti tegas, tetapi tidak keras karena selalu berpihak
kepada keadilan, hanya saja keberpihakannya itu tidak sampai
merampas hak orang lain sehingga merugikan.
Landasan Moderasi
Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktik
yang paling sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan bumi
Indonesia. Sikap mental moderat, adil, dan berimbang
menjadi kunci untuk mengelola keragaman kita. Dalam
berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga
Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang
untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tenteram
dan menentramkan.
Indikator Moderasi Beragama
Indikator moderasi beragama yang akan
digunakan adalah empat hal, yaitu:
1) komitmen kebangsaan;
2) toleransi;
3) anti-kekerasan; dan
4) akomodatif terhadap
kebudayaan lokal.
Keempat indikator ini dapat digunakan
untuk mengenali seberapa kuat moderasi beragama yang
dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, dan seberapa
besar kerentanan yang dimiliki. Kerentanan tersebut perlu dikenali supaya kita bisa menemukenali dan mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk melakukan penguatan
moderasi beragama.
Moderasi beragama, yang menekankan praktik beragama jalan tengah, dapat menjadi jalan keluar, baik untuk memperkuat upaya internalisasi nilai-nilai moral spiritual
agama, maupun untuk menciptakan kehidupan keagamaan
yang nirkekerasan.
Multikulturalisme dan pluralisme yang tercermin pada
bangsa Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang dikenal dengan semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika.” Semboyan yang termaktub di pita lambang
negara Garuda Indonesia ini mempunyai makna meskipun
berbeda-beda dalam hal agama, ras, suku, bahasa, maupun
budaya, namun tetap terintegrasi dalam satu kesatuan di
bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebagai sesanti atau kalimat bijak, Bhinneka
Tunggal Ika mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk
mempersatukan perbedaan bangsa Indonesia.
Kompleksitas kehidupan keagamaan saat ini menghadapi tantangan dan perubahan yang sangat ekstrem berbeda dengan masa-masa sebelumnya karena dunia sekarang
tengah memasuki era disrupsi, sehingga dalam kehidupan
keagamaan pun kita bisa menyebut adanya disrupsi beragama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata disrupsi didefinisikan sebagai “hal tercerabut dari akarnya”.
Biasanya, disrupsi dikaitkan dengan pesatnya perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi, yang kini memasuki
revolusi industri digital 4.0. Era disrupsi mengakibatkan
terjadinya perubahan radikal dalam semua aspek kehidupan,
tak terkecuali bidang kehidupan keagamaan. Istilah disruptive
technology ditandai dengan kemajuan teknologi informasi,
komputasi, otomasi, dan robotisasi. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan suatu perubahan radikal yang sangat cepat dan mengakibatkan efek domino yang luar biasa masif, termasuk dalam perilaku beragama. Internet juga mengubah
pola perilaku beragama.
Hoaks dapat didefinisikan sebagai kebohongan yang terencana untuk mengecoh dan menipu orang lain. Hoaks amat
berbahaya jika sampai mencelakakan, apalagi jika hoaks itu
menggunakan topeng agama, maka ia dapat menciptakankonflik dan peperangan penuh militansi, karena watak agama yang sangat menyentuh sisi emosional setiap manusia.
Hoaks juga akan sangat destruktif jika disampaikan oleh
orang yang mengaku pengkhotbah agama, karena niscaya
kata-katanya didengar oleh umatnya. Ia dapat mereduksi nilai mulia agama. Menimbang dampak jahatnya, hoaks dapat
dianggap lebih keji dari pembunuhan (Komaruddin Hidayat,
“Hoaks dan Agama”, Kompas, 8/1/2019)
Kementerian Agama sendiri sangat berkepentingan turut menciptakan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang disertai internalisasi nilai-nilai agama yang moderat, esensial, inklusif, toleran, rukun, nirkekerasan, serta
menghargai keragaman dan perbedaan. Oleh karena itulah Kementerian Agama menjadi leading sector dalam upaya
pengarusutamaannya. Meski dari segi nomenklatur kata
moderasi beragama baru dikenal sekarang, namun secara
substantif misi menjaga kerukunan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh Kementerian Agama sejak awal kelahirannya, dan terus berlangsung hingga kini mendapat momentum memperkuat moderasi beragama secara lebih sistematis
dan terstruktur.
Implementasi pada peneguhan toleransi dapat diartikan
sebagai kesiapan mental seseorang atau sekelompok orang
untuk hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda,
baik berbeda suku, ras, budaya, agama, bahkan berbeda
orientasi seksualnya. Karena itu, toleransi merupakan sikap
untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang
lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya,
menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda
dengan apa yang kita yakini.
No comments:
Post a Comment